Menggugat Nalar Pendidikan Modern; Kealamiahan Takdir
SORE yang ceria pada Senin, 10 September 2018, kami memandu kelas keputraan di hadapan anak-anak putri kelas tujuh dan delapan. Pungkasan dari kelas ini adalah, kami katakan pada mereka bahwa 99 persen kaum lelaki di dunia ini akan memilih perempuan yang meski terlihat kasat tak cantik secara fisik, tapi tidak gampangan, berpikiran terbuka, telaten, santun, mudah diajak bercengkerama, murah senyum, rendah hati, penyayang, setia, dan tentu penyabar. Bukan sebaliknya.
Sebagian besar siswi yang mendengar penuturan kami ini unjuk rasa. Mereka menganggap kami pilih kasih. Tapi kami paham arah protes mereka. Tanpa ba-bi-bu, kami tantang mereka menanyai langsung kawan-kawannya yang lelaki, termasuk beberapa pemuda yang aktif membantu kami kerja bakti membangun sekolah. Hasilnya, semua anak lelaki yang mereka wawancarai, menyebut kategori yang kami ajukan—meski dengan bahasa berbeda.
Tak puas dengan penelitian mandiri itu, seorang anak kembali padaku. Rosdiana, namanya. Anak inilah sesungguhnya target dari kelas keputraan kami sore itu. Dengan tingkahnya yang kenés, Rosdiana balik mengajukan pertanyaan, “Kak, kumaha atuh kalau ambu saya di rumah heunteu seperti yang tadi kita bahas?” Secara ringan dan dengan senyum simpul, kami jawab begini, “Artinya abah kamu ditakdirkan berjodoh dengan perempuan yang akan melatihnya bersabar terus-menerus sampai akhir hayat. Kamu anak yang beruntung.”
Rosdiana pun tersenyum malu, sambil menggaruk kepalanya. Tulisan ini jelas bukan mengarah ke soal jodoh hidup-mati. Tapi kealamiahan. Bukan pula penghakiman. Toh pada kenyataannya, sedikit sekali perempuan yang benar-benar bisa begitu—dan kaum lelaki tetap menerima pasangannya sepenuh hati. Perempuan mencintai lelaki dengan harapan kelak mereka akan berubah, dan lelaki mencintai perempuan, dengan harapan mereka takkan berubah. Hingga akhirnya, kedua golongan ini hanya akan menuai kecewa dalam hidupnya.
Pakem serupa di atas, juga kami lakukan pada Rabu, 28 Agustus 2019. Seluruh siswa Cerdik Cendekia sedari kelas tujuh-delapan, kami boyong menuju penggemukan sapi di Cariu, milik PT Catur Mitra Taruma. Setiba di lokasi pada pagi hari, kami disambut hangat oleh seorang penyuluh yang menyenangkan. Ia berhasil menyedot perhatian pendengarnya yang rata² berusia 13-16 tahun itu. Seluruh materi yang ia sampaikan seputar sapi & dunia lenguhnya.
Kelas ini berlangsung dua arah dan ternyata tidak membosankan. Kami bisa melihatnya dari raut wajah adik-adik yang tetap bergairah menggali seluk-beluk mengelola sapi dalam skala bisnis. Mereka yang memang gemar menggali Ilmu alam, selalu punya pertanyaan yang bisa diajukan—lalu dicatat. Sementara yang berbakat pengusaha, bertanya terkait produksi dan tata kelola. Cukup didengar. Diingat. Tak perlu dicatat. Mengamati cara itu saja, kami sudah bisa menandai bakat apa yang sejatinya terpendam dalam diri mereka.
Usai sarasehan dilangsungkan, mereka diajak berkeliling melihat 1000an ekor sapi di kandang—yang sedang digemukkan. Beberapa pekerja sedang membersihkan kotoran hewan mamalia itu, yang nantinya dijadikan kompos cair & padat. Mereka juga diajari cara membuat kompos di sisi yang lain—dan ditunjukkan bagaimana pupuk alami itu dikemas dalam karung, sebelum dijual ke para petani yang datang sendiri ke lokasi.
Penggemukan sapi ini unik. Selain mengelola limbah dengan baik, mereka juga menanam pakan bagi ribuan sapi itu. Rumput jenis gajah, odot, taiwan, indigo vera, sulanjana, tampak tumbuh mengitari areal seluas 23 ha². Kecermatan berbisnis ini mesti akan menginspirasi adik² binaan kami. Apa pun sari hikmah yang mereka peras dari perjalanan belajar itu, pasti kelak bermanfaat bagi hidupnya masing-masing. Entah bagaimana bentuknya nanti, mereka jua yang kan menikmati buah manis dari keindahan belajar.
By : Ren Muhammad,
Sumber : https://iqra.id/menggugat-nalar-pendidikan-modern-kealamiahan-takdir-228043/
Komentar (0)